kang sudi

Senin, 10 Oktober 2011

Runtuhnya Etika Sosial

Oleh Muhajir Al Fairusy SEPERTINYA sistem demokrasi yang sedang tumbuh di tengah-tengah manusia Indonesia harus mematikan sebagian nilai dan budaya terutama menyangkut etika sosial dan moralitas yang sering dibina dan dibanggakan oleh para leluhur kita. Demokrasi adalah pintu kebebasan bagi semua komponen bangsa terutama rakyat untuk berekspresi dan mengutamakan hak dalam segala ruang. Tidak hanya politik, demokrasi juga menyentuh ranah sosial, di mana hak seseorang tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain meskipun hak itu tidak dibenarkan menurut adat dan budaya lokal setempat namun demokrasi melegalkannya tanpa harus memahami adat istiadat setempat. Perilaku para generasi muda terutama pelajar dan mahasiswa telah melampaui sekat-sekat yang dilarang oleh hukum adat dan budaya, sebut saja perilaku tidak menghargai orang yang lebih dewasa dari mereka, kekuasaan dan kekayaan bisa saja dipergunakan oleh sebagian generasi untuk “menghina” orang yang seharusnya mereka hormati menurut adat setempat. Ini adalah tanda-tanda kecacatan etika, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Peristiwa pengaduan guru dan orang tua apabila dalam mendidik sedikit melakukan kekerasan fisik dianggap sebagai bentuk pelanggaran demokrasi dan hak asasi dalam sebuah negara, dan hukum negara membenarkan para orang tua dan guru kemudian hari diproses kembali secara hukum. Ini tentu sangat bertolak belakang dengan kaidah dan aturan adat serta agama Islam yang mengharuskan anak untuk taat kepada guru dan orang tua. Pelanggaran nilai merebak bak harum wewangian di tengah masyarakat kita, segerombolan anak sekolah yang merayakan pesta kelulusan dengan aksi coret baju dan ngebut-ngebutan di jalan umum, pelanggaran etika agama seperti khalwat yang dilakukan di depan umum, tidak akan lagi bisa dicegah oleh orang yang lebih tua seperti zaman dahulu saat orang tua dibantu oleh orang sekampung memiliki otoritas memantau perilaku anak di luar rumah. Ini adalah bukti dari runtuhnya etika sosial dalam kehidupan masyarakat karena yang lebih tua yang seharusnya dihormati justru memperoleh hukuman sosial dan politik baik dari lingkungan masyarakatnya maupun kekuatan politik aparat negara. Seolah mereka tidak memahami hukum agama dan etika yang berlaku di sebuah tempat. Ketika sebuah kearifan lokal yang berlaku dianggap “keras” maka ramai-ramai para aktivis mengklaim itu bentuk pelanggaran HAM. Perlu dicatat bahwa Aceh memiliki tradisi yang kuat dalam menerapkan adat, tidak semuanya ilmu yang dibawa dari “barat” cocok untuk iklim Aceh dan Indonesia umumnya. Nilai hak asasi manusia dianggap berhasil apabila orang tua dan guru secara tidak langsung harus berhadapan dengan hukum negara apabila mereka “melarang” anak-anaknya dengan sedikit kekerasan untuk tidak melakukan hal yang melanggar etika, mereka harus berhadapan langsung dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia yang sama sekali tidak pernah dikenal bahkan kadang tidak sesuai dengan pendidikan agama kita. Justru hukum agama membolehkan melakukan “kekerasan” fisik yang tidak merusak tubuh apabila seseorang itu dianggap membuat cacat nilai menurut perspektif agama. Pantaslah kemudian Koentjaraningrat seorang antropolog terkemukaka di Indonesia dengan lugas menyatakan bahwa tidak semua budaya barat bisa diterapkan di negara Indonesia yang notabene adat dan budayanya sangat berbeda dengan barat. Indonesia memiliki ratusan suku dengan etika sosial dan adat yang sudah berlaku dari generasi ke generasi. Indonesia umumnya dan Aceh khususnya telah menunjukkan gejala kecacatan tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari runtuhnya otoritas orang tua dan guru sebagai pengamat dan penjaga etika sosial dan moral di tengah-tengah masyarakat. Hampir semua manusia di Aceh hari ini berlomba-lomba untuk memperkaya diri tanpa menghiraukan sendi-sendi sosial budaya yang bisa runtuh bahkan hilang kapan saja. Berapa banyak hari ini orang yang mampu menghalau tindakan salah orang lain yang jelas melanggar menurut agama dan adat. Mereka tidak akan pernah mampu karena mereka berhadapan dengan “tentara-tentara” demokrasi dan hak asasi manusia ala barat yang justru kadang menghilangkan identitas kita sebagai bangsa berbasis nilai dan agama Islam. Ketika kecacatan terjadi pada moralitas dan etika sosial masyarakat, maka artinya kecacatan tersebut bisa mengancam pada hilangnya identitas diri sebuah bangsa. Paling tidak hal itu tampak dari semua perilaku generasi bangsa yang melecehkan nilai agama tanpa menghiraukan larangan orang tua dan guru, jelas otoritas itu hilang begitu saja. Bahkan, mereka berperilaku seperti seorang tokoh dengan melambaikan tangan dan mengumbar senyum ketika larangan agama dan etika sosial mereka langgar. Apa maksud dari fenomena ini. Apakah demokrasi dan nilai hak asasi manusia ala barat masih cocok di tengah masyarakat kita. Meskipun sistem itu “menginjak-injak” identitas kita sebagai sebuah bangsa yang memiliki akar adat dan agama yang dianggap kuat. Krisis moralitas ini terjadi karena sendi-sendi beretika sosial dan menjaga nilai-nilai agama sudah dilupakan. Tidak ada lagi kepedulian kepada generasi muda dalam hal beragama dan berbudaya sesuai tuntutan budaya setempat. Ini dibuktikan dengan makin maraknya pelanggaran syariah, pelanggaran etika sosial bahkan jatuhnya moralitas para generasi tanpa bisa dicegah oleh guru dan orang tua. Padahal agama Islam dan adat Aceh secara tegas telah menyatakan “apabila kamu melihat sebuah kemungkaran maka cegahlah dia dengan tanganmu, apabila kamu tidak sanggup maka cegahlah dengan lisanmu, apabila tidak sanggup cegahlah dengan membenci perbuatan tersebut dalam hatimu, karena itulah selemah-lemah iman.” Raja Aceh pernah menekankan satu petuah Matee Aneuk Meupat Jeurat, Matee Adat pat Tamita (apabila anak mati maka pasti diketahui pusaranya, namun apabila adat punah hendak ke mana akan dicari). Bukankah pesan-pesan ini mengingatkan kepada kita bahwa etika sosial, nilai agama dan adat setempat di atas segala-galanya. Akhirnya mari kita cegah tindakan perilaku generasi dari kecacatan etika sosial dan moralitas yang tidak sesuai dengan budaya kita, kembali pada falsafah hidup Aceh, Aneuk geutanyo aneuk gob, aneuk gob aneuk geutanyo. Akhirnya akan tercipta masyarakat yang saling menjaga dan menghargai sesamanya. * Penulis adalah pengurus Majelis Adat Aceh (MAA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar